Minggu, 02 Juni 2019


Model Pembelajaran Kontekstual
A. Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, kontek, suasana, atau keadaan.”
Contextual diartikan suatu hubungan dengan suasana (kontek). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Model pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekitarnya.
Model pembelajaran kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat, antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual.
Menurut Hower R. Kenneth (2001) model pembelajaran kontekstual atau CTL adalah pembelajaran yang memunkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulative ataupun nyata, baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama.
Menurut Johnson (2002 : 25) dalam Nurhadi, model pembelajaran kontekstual atau CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan nyata mereka sehari – hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosialnya, dan budaya.

B. Komponen - Komponen Model Pembelajaran Kontekstual
1.  Konstruktivisme (Contructivism)
Menurut Piaget pendekatan kontekstual mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
a.       Mengandung pengalaman nyata (Experience),
b.      Adanya interaksi sosial (Social interaction),
c.       Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making),
d.      Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).

2. Bertanya (Questioning)
Dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan bertanya berguna untuk :
a.       Menggali informasi, baik administratif maupun akademis,
b.      Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa,
c.       Membangkitkan respon kepada siswa,
d.      Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa,
e.       Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru,
f.       Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,
g.      Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

3. Menemukan (Inquiry)
a.       Merumuskan masalah,
b.      Mengajukan hipotesis,
c.       Mengumpulkan data,
d.      Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan,
e.       Membuat kesimpulan.

4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep  Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas, 2003).

5. Pemodelan (Modeling)
Menurut Bandura dan Walters, tingkah laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
a.       Kehidupan yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain,
b.      Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar,
c.  Representasi (representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio.

6. Refleksi (Reflection)
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :
a.   Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh  pada pembelajaran yang baru saja dilakukan,
b.      Catatan atau jurnal di buku siswa,
c.       Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.

7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang  diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Kontekstual
1.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dimana siswa dituntun untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan dikehidupan nyata,
2.      Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep pada siswa karena model pembelajaran ini menganut aliran konstruktivisme, dimana siswa dituntut untuk menemukan pengetahuannya sendiri.



D. Kekurangan Model Pembelajaran Kontekstual
Tugas guru dalam pembelajaran ini adalah mengelola kelas untuk bekerjasama untuk menemukan pengetahuan yang baru bagi siswa dimana dalam hal itu pun kurangnya waktu yang menjadi kendala. Dalam model kontekstual memerlukan waktu yang banyak untuk membimbing siswa. Namun waktu yang tersedia tidak terlalu banyak. Sedangkan siswa harus mampu mengembangkan ide-ide yang mereka punya.Jadi waktu adalah kelemahan utama dalam model pembelajaran kontekstual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar