Model
Pembelajaran Kontekstual
A. Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran
kontekstual terjemahan dari istilah Contextual
Teaching Learning (CTL). Kata contextual
berasal dari kata contex yang berarti
“hubungan, kontek, suasana, atau keadaan.”
Contextual
diartikan suatu hubungan dengan suasana (kontek). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu
pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Model
pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916)
yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari
terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau peristiwa yang
terjadi disekitarnya.
Model
pembelajaran kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat
yang diawali dengan dibentuknya Washington
State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat,
antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar
yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas
penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual.
Menurut
Hower R. Kenneth (2001) model pembelajaran kontekstual atau CTL adalah
pembelajaran yang memunkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa
menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam
dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulative ataupun
nyata, baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama.
Menurut
Johnson (2002 : 25) dalam Nurhadi, model pembelajaran kontekstual atau CTL
merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna
dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan
konteks kehidupan nyata mereka sehari – hari, yaitu dengan konteks lingkungan
pribadi, sosialnya, dan budaya.
B. Komponen - Komponen Model Pembelajaran Kontekstual
1. Konstruktivisme
(Contructivism)
Menurut Piaget pendekatan kontekstual
mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
a. Mengandung
pengalaman nyata (Experience),
b. Adanya
interaksi sosial (Social interaction),
c. Terbentuknya
kepekaan terhadap lingkungan (Sense making),
d. Lebih
memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
2. Bertanya (Questioning)
Dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan
bertanya berguna untuk :
a. Menggali
informasi, baik administratif maupun akademis,
b. Mengecek
pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa,
c. Membangkitkan
respon kepada siswa,
d. Mengetahui
sejauh mana keingintahuan siswa,
e. Memfokuskan
perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru,
f. Membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,
g. Menyegarkan
kembali pengetahuan siswa.
3. Menemukan (Inquiry)
a. Merumuskan
masalah,
b. Mengajukan
hipotesis,
c. Mengumpulkan
data,
d. Menguji
hipotesis berdasarkan data yang ditemukan,
e. Membuat
kesimpulan.
4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep Learning
Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan
orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok,
dan antar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap
elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman
(Depdiknas, 2003).
5. Pemodelan (Modeling)
Menurut Bandura dan Walters, tingkah
laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru
suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
a. Kehidupan
yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain,
b. Simbolik
(symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk
gambar,
c. Representasi
(representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat
audiovisual, misalnya televisi dan radio.
6. Refleksi (Reflection)
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi
dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu
sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :
a. Pernyataan
langsung tentang apa-apa yang diperoleh
pada pembelajaran yang baru saja dilakukan,
b. Catatan
atau jurnal di buku siswa,
c. Kesan
dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.
7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas
(2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar
berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar
bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan
sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang
dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi,
laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.
C. Kelebihan Model Pembelajaran Kontekstual
1. Pembelajaran
menjadi lebih bermakna. Dimana siswa dituntun untuk dapat menangkap hubungan
antara pengalaman belajar disekolah dengan dikehidupan nyata,
2. Pembelajaran
lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep pada siswa karena model
pembelajaran ini menganut aliran konstruktivisme, dimana siswa dituntut untuk
menemukan pengetahuannya sendiri.
D. Kekurangan Model Pembelajaran Kontekstual
Tugas guru dalam
pembelajaran ini adalah mengelola kelas untuk bekerjasama untuk menemukan
pengetahuan yang baru bagi siswa dimana dalam hal itu pun kurangnya waktu yang
menjadi kendala. Dalam model kontekstual memerlukan waktu yang banyak untuk
membimbing siswa. Namun waktu yang tersedia tidak terlalu banyak. Sedangkan
siswa harus mampu mengembangkan ide-ide yang mereka punya.Jadi waktu adalah
kelemahan utama dalam model pembelajaran kontekstual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar