Minggu, 23 Juni 2019


Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
A. Pengertian Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)

Model pembelajaran make a match (membuat pasangan) merupakan salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran koopertif. Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Lie, 2003 : 27). Menurut (2011 : 223 – 233 ) metode ini dikembangkan oleh Lorna Curran (1994).
Model pembelajaran make a match  adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerjasama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007 : 59).
Menurut (Hamruni 2009 : 290), Model pembelajaran Make A Match adalah cara menyenangkan lagi aktif untuk meninjau ulang materi pembelajaran dengan memberi kesempatan pada peserta didik untuk berpasangan dan memainkan kuis kepada kawan sekelas.
Teknik Make a Match adalah teknik mencari pasangan, siswa di gabung suruh mencari pasangan dari kartu yang mereka pegang.  Keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Lorna Curran dalam Miftahul Huda, 2011: 113).

B. Langkah – Langkah Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
Menurut (Thamrizi, 2010). Mengemukakan langkah – langkah pembelajaran dengan menggunakan teknik make a match sebagai berikut :
1. Membuat potongan – potongan kertas sejumlah siswa yang ada dalam kelas.
2. Mengisi kertas – kertas tersebut dengan jawaban atau soal sesuai materi yang diberikan.
3. Mencocokan semua kartu sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban.
4.  Membagikan soal atau jawaban kepada siswa.
5. Memberi setiap siswa satu kertas dan menjelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan. Separuh siswa akan mendapatkan soal dan separuhnya akan mendapatkan jawaban.
6. Meminta semua siswa membentuk huruf U atau berhadapan.
7. Meminta siswa menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan pasangan, minta mereka untuk duduk berdekatan, terangkan juga agar mereka tidak memberi tahu materi yang mereka dapatkan kepada teman yang lain.
8. Menambahkan langkah-langkah model Make A Match yaitu setiap siswa menerima potongan kertas, mereka diberi waktu untuk memikirkan jawaban atau soal dari kertas yang diterimanya. Setiap siswa yang dapat menemukan pasangannya dengan tepat sebelum batas waktu diberi poin atau nilai.
9. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumya.
10. Mendiskusikan soal yang telah diterima dengan kelompok pasangan.
11. Demikian seterusnya.
12. Kesimpulan / penutup.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
1. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik.
2. Metode ini menyenangkan karena ada unsur permainan.
3. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
4. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
5. Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.

D. Kelemahan Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
1. Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang terbuang.
2. Pada awal-awal penerapan metode, banyak siswa yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya.
3. Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan.
4. Guru harus hati - hati dan bijaksana saat member hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.
5.  Menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan.

Minggu, 16 Juni 2019


Model Pembelajaran Mind Mapping
A. Pengertian Model Pembelajaran Mind Mapping
Buzan (2004 : 68) menyatakan Mind Mapping, yaitu cara yang paling mudah untuk memasukkan informasi kedalam otak dan untuk kembali mengambil informasi dari dalam otak. Mind mapping merupakan teknik yang paling baik dalam membantu proses berpikir otak secara teratur karena menggunakan teknik grafis yang berasal dari pemikiran manusia yang bermanfaat untuk menyediakan kunci – kunci universal sehingga membuka potensi otak (Buzan dan Bary, 2004 : 68)
Mind Mapping merupakan gagasan berbagai imajinasi. Mind merupakan suatu keadaan yang timbul bila otak (brain) hidup dan sedang bekerja (Bahaudin, 1999: 53). Lebih lanjut De Porter dan Hernacki (1999: 152) menjelaskan, peta pikiran merupakan teknik pemanfaatan keseluruhan otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya untuk membentuk suatu kesan yang lebih dalam.
Model pembelajaran Mind Mapping adalah teknik meringkas bahan yang akan dipelajarai dan memproyeksikan masalah yang dihadapi ke dalam bentuk peta atau teknik grafik sehingga lebih mudah memahaminya (Sugiarto, 2004 : 75). Mind Mapping merupakan teknik visualisasi verbal ke dalam gambar. Mind Mapping sangat bermanfaat untuk memahami materi, terutama materi yang diberikan secara verbal. Mind Mapping bertujuan membuat materi pelajaran terpola secara visual dan grafis yang akhirnya dapat membantu merekam, memperkuat, dan mengingat kemabli informasi yang telah dipelajari (Jensen dan Makowitz, 2002: 95).

B. Langkah - Langkah Model Pembelajaran Mind Mapping.
1. Menyampaikan kompetensi yang hendak dicapai kepada siswa pada awal pembelajaran.
2. Guru mengemukakan terlebih dahulu konsep yang akan dipelajari atau permasalahan yang akan dipecahkan oleh siswa.
3. Mengelompokkan siswa dalam kelompok kecil dengan jumlah anggota sebanyak 2 hingga 3 orang.
4. Kelompok diberikan kesempatan untuk melakukan diskusi mengenai permasalahan yang diberikan oleh guru.
5. Tiap kelompok diarahkan untuk mencatat seluruh alternatif jawaban yang diperoleh dari hasil diskusi.
6. Masing – masing kelompok secara acak diberi kesempatan untuk membacakan hasil diskusinya, pada kesempatan ini guru mencatat di papan tulis dan mengelompokkan jawaban tersebut berdasarkan beberapa kriteria.
7. Siswa dan guru bersama – sama membuat kesimpulan dari data yang telah dituliskan oleh guru di papan tulis.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Mind Mapping
1. Memudahkan meihat suatu gambar.
2. Mudah mendapat sebuah informasi baru.
3. Membantu otak untuk mengatur, mengingat, membandingkan, dan membuat hubungan.
4. Pengkajian ulang bisa lebih cepat.

D. Kekurangan Model Pembelajaran Mind Mapping
1. Tidak semua siswa aktif.
2. Detail informasi tidak dapat dimasukkan.

Minggu, 09 Juni 2019


Model Pembelajaran Probing Prompting

A. Pengertian Model Pembelajaran Probing Prompting
Model pembelajaran probing prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menentun dan menggalu sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedanng dipelajari (Suherman, 2008 : 6)
Pembelajaran probing prompting sangat erat kaitannya dengan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada saat pembelajaran ini disebut probing question. Probing question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapatkan jawaban lebih lanjut dari siswa yang bermaksud untuk mengembangkan kualitas jawaban, sehingga jawaban berikutnya lebih jelas, akurat serta beralasan (Suherman dkk, 2001 : 160).
Teknik Probing Prompting adalah pembelajaran  guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berfikir yang mengkaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksikan konsep – prinsip – aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan ( Luffizulfi, 2008).
Menurut M. Fahris dan Puput (2014 : 90) menyatakan bahwa, probing adalah menggali atau melacak, dan prompting adalah mengarahkan atau menuntun. Secara umum pembelajaran dengan menggunakan probing prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari.
Terdapat dua aktivitas siswa yang saling berhubungan dalam model pembelajaran probing prompting, yaitu aktivitas siswa yang meliputi aktivitas berpikir dan aktivitas fisik yang berusaha membangun pengetahuannya, serta aktivitas guru yang berusaha membimbing siswa dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang memerlukan pemikiran tingkat rendah sampai pemikiran tingkat tinggi (Suherman, 2001 : 55).

B.   Langkah – Langkah Model Pembelajaran Probing Prompting
Guru memberi siswa pada situasi baru, misalkan dengan :
1. Memperhatikan gambar, rumus, atau suatau hal lain yang mengandung sebuah permasalahan.
2. Guru menunggu beberapa saat untuk memberikan keempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau berdiskusi kecil untuk merumuskannya.
3. Guru mengajukan persoalan kepada siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus (TPK) atau indikator kepada seluruh siswa.
4. Guru menunggu beberapa saat untuk memberikan keempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau berdiskusi kecil untuk merumuskannya.
5. Menunjuk salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan.
6. Jika jawabannya tepat maka guru meminta tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban tersebut, untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun jika siswa tersebut mengalami kemacetan dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, maka guru mengajukan pertanyaan – pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawaban. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan pada beberapa siswa yang berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan probing prompting.
7. Guru mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa TPK/indikator tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Probing Prompting
1. Mendorong siswa berpikir aktif.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal – hal yang kurang jelas sehingga guru dapat menjelaskan kembali.
3. Perbedaan pendapat antara siswa dapat dikompromikan atau diarahkan pada suatu diskusi.
4. Pertanyaan dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa, sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, yang mengantuk, kembali tegar dan hilang kantuknya.
5. Sebagai cara meninjau kembali (review) bahan pelajaran yang lampau.
6. Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.

D. Kekurangan Model Pembelajaran Probing Prompting
1. Siswa merasa takut, apalagi bila guru kurang dapat mendorong siswa untuk berani, dengan menciptakan suasana yang tidak tegang, melainkan akrab.
2. Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkatan berpikir dan mudah dipahami siswa.
3. Waktu sering banyak terbuang apabila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan sampai dua atau tiga orang.
4. Dalam jumlah siswa yang banyak, tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada tiap siswa.
5. Dapat menghambat cara berpikir anak bila tidak/kurang pandai membawakan, misalnya guru meminta siswanya menjawab persi seperti yang dia kehendaki, kalau tidak dinilai salah.

Minggu, 02 Juni 2019


Model Pembelajaran Kontekstual
A. Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, kontek, suasana, atau keadaan.”
Contextual diartikan suatu hubungan dengan suasana (kontek). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Model pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekitarnya.
Model pembelajaran kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat, antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual.
Menurut Hower R. Kenneth (2001) model pembelajaran kontekstual atau CTL adalah pembelajaran yang memunkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulative ataupun nyata, baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama.
Menurut Johnson (2002 : 25) dalam Nurhadi, model pembelajaran kontekstual atau CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan nyata mereka sehari – hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosialnya, dan budaya.

B. Komponen - Komponen Model Pembelajaran Kontekstual
1.  Konstruktivisme (Contructivism)
Menurut Piaget pendekatan kontekstual mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
a.       Mengandung pengalaman nyata (Experience),
b.      Adanya interaksi sosial (Social interaction),
c.       Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making),
d.      Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).

2. Bertanya (Questioning)
Dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan bertanya berguna untuk :
a.       Menggali informasi, baik administratif maupun akademis,
b.      Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa,
c.       Membangkitkan respon kepada siswa,
d.      Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa,
e.       Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru,
f.       Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,
g.      Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

3. Menemukan (Inquiry)
a.       Merumuskan masalah,
b.      Mengajukan hipotesis,
c.       Mengumpulkan data,
d.      Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan,
e.       Membuat kesimpulan.

4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep  Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas, 2003).

5. Pemodelan (Modeling)
Menurut Bandura dan Walters, tingkah laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
a.       Kehidupan yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain,
b.      Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar,
c.  Representasi (representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio.

6. Refleksi (Reflection)
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :
a.   Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh  pada pembelajaran yang baru saja dilakukan,
b.      Catatan atau jurnal di buku siswa,
c.       Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.

7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang  diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Kontekstual
1.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dimana siswa dituntun untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan dikehidupan nyata,
2.      Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep pada siswa karena model pembelajaran ini menganut aliran konstruktivisme, dimana siswa dituntut untuk menemukan pengetahuannya sendiri.



D. Kekurangan Model Pembelajaran Kontekstual
Tugas guru dalam pembelajaran ini adalah mengelola kelas untuk bekerjasama untuk menemukan pengetahuan yang baru bagi siswa dimana dalam hal itu pun kurangnya waktu yang menjadi kendala. Dalam model kontekstual memerlukan waktu yang banyak untuk membimbing siswa. Namun waktu yang tersedia tidak terlalu banyak. Sedangkan siswa harus mampu mengembangkan ide-ide yang mereka punya.Jadi waktu adalah kelemahan utama dalam model pembelajaran kontekstual.

Minggu, 26 Mei 2019


Model Pembelajaran Realistik atau Realistic Mathematic Education (RME)
1. Pengertian Model Pembelajaran Realistik atau Realistic Mathematic Education (RME)
Ide RME dikemukakan oleh Hans Freudenthal dari Belanda, gagasan ini muncul karena adanya perkembangan matematika modern di Amerika dan praktek pembelajaran matematika yang terlalu mekanistik di Belanda. Model pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematic Education (RME) adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak pada hal – hal yang real bagi siswa (Zulkardi). Teori ini menekankan ketrampilan proses, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (Student Invonting), sebagai kebalikan dari guru memberi (Teaching Telling) dan pada akhirnya murid menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individual ataupun kelompok.
Ide utama dari model Pembelajaran Matematika Realistic / RME adalah manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer). Upaya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika ini dilakukan dengan memanfaatkan realita dan lingkungan yang dekat dengan anak.
Menurut De Lange dan Van Den Heuvel Parhizen, RME ini adalah pembelajaran yang mengacu pada konstruktifis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika. (Yuwono :  2001)
Model pembelajaran matematika realistik atau Realistik Mathematics Education (RME) pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970 oleh Institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000.

2. Langkah - langkah Model Pembelajaran Realistik atau Realistic Mathematic Education (RME)
Langkah – langkah model pembelajaran matematika realistik di dalam proses pembelajaran matematika (Waraskamdi : 2008) adalah :
a. Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian siswa),
b. Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran,
c. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “rill” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna,
d. Permasalah yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut,
e. Siswa mengembangkan atau menciptakan model – model simbolik secara informal terhadap persoalan / masalah yang diajukan,
f. Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

3. Kelebihan Model Pembelajaran Realistik atau Realistic Mathematic Education (RME)
a. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari – hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia,
b. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut,
c. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain,
d. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai. (Suwarsono.2001)

4. Kelebihan Model Pembelajaran Realistik atau Realistic Mathematic Education (RME)
a. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR,
b. Pencarian soal – soal kontekstual yang memenuhi syarat – syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih – lebih karena soal – soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam,
c. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah,
d. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.



Sabtu, 18 Mei 2019


Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)
A. Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)

Model pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) menggunakan pendektan pembelajaran dengan masalah kehidupan nyata. Problem Based Instruction (PBI) dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah, dan ketrampilan intelektual, belajar nernagi peran, melalui pengalaman belajar dalam kehidupan nyata. Arends dalam Trianto (2007 : 68) menjelaskan bahwa Problem Based Instruction (PBI) merupakan pendekatan belajar yang menggunakan permasalahan autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan siswa, mengembangkan inkuiri, ketrampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemampuan dan percaya diri. Problem Based Instruction (PBI) berpusat pada siswa. Problem Based Instruction (PBI) merupakan salah satu dari berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam mengaktifkan siswa dalam belajar (Abbas dkk 2007 : 8). Guru berkewajiban menuntun siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Guru sebagai penyaji masalah, memberikan intruksi – intruksi, membimbing diskusi, memberikan dorongan dan dukungan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri. Guru diharapkan dapat menberikan kemudahan belajar melalui penciptaan iklim yang kondusif dengan menggunakan fasilitas media dan materi pembelajaran yang bervariasi. Pelaksanaan Problem Based Instruction (PBI) didukung dengan beberapa metode mengajar diantaranya metode ceramah, Tanya jawab, diskusi, penemuan dan pemecahan masalah.

B. Langkah – Langkah Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)
1. Pendahuluan
a. Orientasi pada suatu masalah
   Guru menjelaskan rencana kegiatan dengan menjelaskan materi yang akan dipelajari dan                      menjelaskan saran atau alat pendukung yang dibutuhkan untuk melakukan eksperimen guna                memecahkan suatu masalah. Guru memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan sebuah               masalah.
b. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
    Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang                      berhubungan dengan pemecahan masalah (menetapkan topik, tugas, jadwal dll). Guru membantu        siswa dalam merencanakan, menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka      membagi kelompok dan berbagi tugas dengan teman sesama kelompok.
2. Kegiatan Inti
a. Membimbing penyeledikan individu maupun kelompok
    Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai eksperimen untuk                        mendapatkan penjelasan, pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis. Siswa melakukan            eksperimen lalu berdiskusi untuk menjawab pertanyaan hasil eksperimen guna mendapatkan                penjelasan dan pemecahan masalah.
b. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
    Siswa mempersiapkan hasil pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan      mempresentasikan hasil pemecahan masalah.
c. Mengevaluasi proses pemecahan masalah
   Guru menyuruh kelompok lain untuk mengevalusi hasil pemecehan masalah kelompok yang               sedang presentasi. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap                   eksperimen mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
3. Penutup
    Guru menyimpulkan hasil pemecahan masalah.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)
1. Siswa terlibat langsung dalam proses belajar sehingga mereka benar – benar menyerap                        pengetahuan dengan baik,
2. Melatih kerjasama dengan siswa lain,
3. Memperoleh banyak informasi dari berbagai sumber,
4. Siswa aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar,
5. Melibatkan siswa untuk aktif memcahkan masalah dan menuntut ketrampilan berfikir siswa yang       lebih tinggi,
6. Mengembangkan cara berfikir logis serta berlatih mengemukakan pendapat.

D. Kekurangan Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)
1. Membutuhkan banyak waktu dan banyak dana,
2. Tidak semua mata pelajaran dapat menerapkan model pembelajaran ini,
3. Membutuhkan fasilitas yang memadai,
4. Menuntut guru untuk membuat rencana pembelajaran yang lebih matang.