Minggu, 23 Juni 2019


Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
A. Pengertian Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)

Model pembelajaran make a match (membuat pasangan) merupakan salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran koopertif. Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Lie, 2003 : 27). Menurut (2011 : 223 – 233 ) metode ini dikembangkan oleh Lorna Curran (1994).
Model pembelajaran make a match  adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerjasama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007 : 59).
Menurut (Hamruni 2009 : 290), Model pembelajaran Make A Match adalah cara menyenangkan lagi aktif untuk meninjau ulang materi pembelajaran dengan memberi kesempatan pada peserta didik untuk berpasangan dan memainkan kuis kepada kawan sekelas.
Teknik Make a Match adalah teknik mencari pasangan, siswa di gabung suruh mencari pasangan dari kartu yang mereka pegang.  Keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik (Lorna Curran dalam Miftahul Huda, 2011: 113).

B. Langkah – Langkah Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
Menurut (Thamrizi, 2010). Mengemukakan langkah – langkah pembelajaran dengan menggunakan teknik make a match sebagai berikut :
1. Membuat potongan – potongan kertas sejumlah siswa yang ada dalam kelas.
2. Mengisi kertas – kertas tersebut dengan jawaban atau soal sesuai materi yang diberikan.
3. Mencocokan semua kartu sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban.
4.  Membagikan soal atau jawaban kepada siswa.
5. Memberi setiap siswa satu kertas dan menjelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan. Separuh siswa akan mendapatkan soal dan separuhnya akan mendapatkan jawaban.
6. Meminta semua siswa membentuk huruf U atau berhadapan.
7. Meminta siswa menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan pasangan, minta mereka untuk duduk berdekatan, terangkan juga agar mereka tidak memberi tahu materi yang mereka dapatkan kepada teman yang lain.
8. Menambahkan langkah-langkah model Make A Match yaitu setiap siswa menerima potongan kertas, mereka diberi waktu untuk memikirkan jawaban atau soal dari kertas yang diterimanya. Setiap siswa yang dapat menemukan pasangannya dengan tepat sebelum batas waktu diberi poin atau nilai.
9. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumya.
10. Mendiskusikan soal yang telah diterima dengan kelompok pasangan.
11. Demikian seterusnya.
12. Kesimpulan / penutup.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
1. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik.
2. Metode ini menyenangkan karena ada unsur permainan.
3. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
4. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.
5. Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.

D. Kelemahan Model Pembelajaran Make a Match (Membuat Pasangan)
1. Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang terbuang.
2. Pada awal-awal penerapan metode, banyak siswa yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya.
3. Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan.
4. Guru harus hati - hati dan bijaksana saat member hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.
5.  Menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan.

Minggu, 16 Juni 2019


Model Pembelajaran Mind Mapping
A. Pengertian Model Pembelajaran Mind Mapping
Buzan (2004 : 68) menyatakan Mind Mapping, yaitu cara yang paling mudah untuk memasukkan informasi kedalam otak dan untuk kembali mengambil informasi dari dalam otak. Mind mapping merupakan teknik yang paling baik dalam membantu proses berpikir otak secara teratur karena menggunakan teknik grafis yang berasal dari pemikiran manusia yang bermanfaat untuk menyediakan kunci – kunci universal sehingga membuka potensi otak (Buzan dan Bary, 2004 : 68)
Mind Mapping merupakan gagasan berbagai imajinasi. Mind merupakan suatu keadaan yang timbul bila otak (brain) hidup dan sedang bekerja (Bahaudin, 1999: 53). Lebih lanjut De Porter dan Hernacki (1999: 152) menjelaskan, peta pikiran merupakan teknik pemanfaatan keseluruhan otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya untuk membentuk suatu kesan yang lebih dalam.
Model pembelajaran Mind Mapping adalah teknik meringkas bahan yang akan dipelajarai dan memproyeksikan masalah yang dihadapi ke dalam bentuk peta atau teknik grafik sehingga lebih mudah memahaminya (Sugiarto, 2004 : 75). Mind Mapping merupakan teknik visualisasi verbal ke dalam gambar. Mind Mapping sangat bermanfaat untuk memahami materi, terutama materi yang diberikan secara verbal. Mind Mapping bertujuan membuat materi pelajaran terpola secara visual dan grafis yang akhirnya dapat membantu merekam, memperkuat, dan mengingat kemabli informasi yang telah dipelajari (Jensen dan Makowitz, 2002: 95).

B. Langkah - Langkah Model Pembelajaran Mind Mapping.
1. Menyampaikan kompetensi yang hendak dicapai kepada siswa pada awal pembelajaran.
2. Guru mengemukakan terlebih dahulu konsep yang akan dipelajari atau permasalahan yang akan dipecahkan oleh siswa.
3. Mengelompokkan siswa dalam kelompok kecil dengan jumlah anggota sebanyak 2 hingga 3 orang.
4. Kelompok diberikan kesempatan untuk melakukan diskusi mengenai permasalahan yang diberikan oleh guru.
5. Tiap kelompok diarahkan untuk mencatat seluruh alternatif jawaban yang diperoleh dari hasil diskusi.
6. Masing – masing kelompok secara acak diberi kesempatan untuk membacakan hasil diskusinya, pada kesempatan ini guru mencatat di papan tulis dan mengelompokkan jawaban tersebut berdasarkan beberapa kriteria.
7. Siswa dan guru bersama – sama membuat kesimpulan dari data yang telah dituliskan oleh guru di papan tulis.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Mind Mapping
1. Memudahkan meihat suatu gambar.
2. Mudah mendapat sebuah informasi baru.
3. Membantu otak untuk mengatur, mengingat, membandingkan, dan membuat hubungan.
4. Pengkajian ulang bisa lebih cepat.

D. Kekurangan Model Pembelajaran Mind Mapping
1. Tidak semua siswa aktif.
2. Detail informasi tidak dapat dimasukkan.

Minggu, 09 Juni 2019


Model Pembelajaran Probing Prompting

A. Pengertian Model Pembelajaran Probing Prompting
Model pembelajaran probing prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menentun dan menggalu sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedanng dipelajari (Suherman, 2008 : 6)
Pembelajaran probing prompting sangat erat kaitannya dengan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada saat pembelajaran ini disebut probing question. Probing question adalah pertanyaan yang bersifat menggali untuk mendapatkan jawaban lebih lanjut dari siswa yang bermaksud untuk mengembangkan kualitas jawaban, sehingga jawaban berikutnya lebih jelas, akurat serta beralasan (Suherman dkk, 2001 : 160).
Teknik Probing Prompting adalah pembelajaran  guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berfikir yang mengkaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksikan konsep – prinsip – aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan ( Luffizulfi, 2008).
Menurut M. Fahris dan Puput (2014 : 90) menyatakan bahwa, probing adalah menggali atau melacak, dan prompting adalah mengarahkan atau menuntun. Secara umum pembelajaran dengan menggunakan probing prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan baru yang sedang dipelajari.
Terdapat dua aktivitas siswa yang saling berhubungan dalam model pembelajaran probing prompting, yaitu aktivitas siswa yang meliputi aktivitas berpikir dan aktivitas fisik yang berusaha membangun pengetahuannya, serta aktivitas guru yang berusaha membimbing siswa dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang memerlukan pemikiran tingkat rendah sampai pemikiran tingkat tinggi (Suherman, 2001 : 55).

B.   Langkah – Langkah Model Pembelajaran Probing Prompting
Guru memberi siswa pada situasi baru, misalkan dengan :
1. Memperhatikan gambar, rumus, atau suatau hal lain yang mengandung sebuah permasalahan.
2. Guru menunggu beberapa saat untuk memberikan keempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau berdiskusi kecil untuk merumuskannya.
3. Guru mengajukan persoalan kepada siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus (TPK) atau indikator kepada seluruh siswa.
4. Guru menunggu beberapa saat untuk memberikan keempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau berdiskusi kecil untuk merumuskannya.
5. Menunjuk salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan.
6. Jika jawabannya tepat maka guru meminta tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban tersebut, untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun jika siswa tersebut mengalami kemacetan dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, maka guru mengajukan pertanyaan – pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawaban. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan pada beberapa siswa yang berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan probing prompting.
7. Guru mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa TPK/indikator tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Probing Prompting
1. Mendorong siswa berpikir aktif.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal – hal yang kurang jelas sehingga guru dapat menjelaskan kembali.
3. Perbedaan pendapat antara siswa dapat dikompromikan atau diarahkan pada suatu diskusi.
4. Pertanyaan dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa, sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, yang mengantuk, kembali tegar dan hilang kantuknya.
5. Sebagai cara meninjau kembali (review) bahan pelajaran yang lampau.
6. Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.

D. Kekurangan Model Pembelajaran Probing Prompting
1. Siswa merasa takut, apalagi bila guru kurang dapat mendorong siswa untuk berani, dengan menciptakan suasana yang tidak tegang, melainkan akrab.
2. Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkatan berpikir dan mudah dipahami siswa.
3. Waktu sering banyak terbuang apabila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan sampai dua atau tiga orang.
4. Dalam jumlah siswa yang banyak, tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada tiap siswa.
5. Dapat menghambat cara berpikir anak bila tidak/kurang pandai membawakan, misalnya guru meminta siswanya menjawab persi seperti yang dia kehendaki, kalau tidak dinilai salah.

Minggu, 02 Juni 2019


Model Pembelajaran Kontekstual
A. Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, kontek, suasana, atau keadaan.”
Contextual diartikan suatu hubungan dengan suasana (kontek). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Model pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekitarnya.
Model pembelajaran kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat, antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual.
Menurut Hower R. Kenneth (2001) model pembelajaran kontekstual atau CTL adalah pembelajaran yang memunkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulative ataupun nyata, baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama.
Menurut Johnson (2002 : 25) dalam Nurhadi, model pembelajaran kontekstual atau CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan nyata mereka sehari – hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosialnya, dan budaya.

B. Komponen - Komponen Model Pembelajaran Kontekstual
1.  Konstruktivisme (Contructivism)
Menurut Piaget pendekatan kontekstual mengandung empat kegiatan inti, yaitu :
a.       Mengandung pengalaman nyata (Experience),
b.      Adanya interaksi sosial (Social interaction),
c.       Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making),
d.      Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).

2. Bertanya (Questioning)
Dalam kegiatan pembelajaran, kegiatan bertanya berguna untuk :
a.       Menggali informasi, baik administratif maupun akademis,
b.      Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa,
c.       Membangkitkan respon kepada siswa,
d.      Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa,
e.       Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru,
f.       Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,
g.      Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

3. Menemukan (Inquiry)
a.       Merumuskan masalah,
b.      Mengajukan hipotesis,
c.       Mengumpulkan data,
d.      Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan,
e.       Membuat kesimpulan.

4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep  Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas, 2003).

5. Pemodelan (Modeling)
Menurut Bandura dan Walters, tingkah laku siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi :
a.       Kehidupan yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain,
b.      Simbolik (symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk gambar,
c.  Representasi (representation), model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan radio.

6. Refleksi (Reflection)
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :
a.   Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh  pada pembelajaran yang baru saja dilakukan,
b.      Catatan atau jurnal di buku siswa,
c.       Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.

7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang  diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.

C. Kelebihan Model Pembelajaran Kontekstual
1.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dimana siswa dituntun untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar disekolah dengan dikehidupan nyata,
2.      Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep pada siswa karena model pembelajaran ini menganut aliran konstruktivisme, dimana siswa dituntut untuk menemukan pengetahuannya sendiri.



D. Kekurangan Model Pembelajaran Kontekstual
Tugas guru dalam pembelajaran ini adalah mengelola kelas untuk bekerjasama untuk menemukan pengetahuan yang baru bagi siswa dimana dalam hal itu pun kurangnya waktu yang menjadi kendala. Dalam model kontekstual memerlukan waktu yang banyak untuk membimbing siswa. Namun waktu yang tersedia tidak terlalu banyak. Sedangkan siswa harus mampu mengembangkan ide-ide yang mereka punya.Jadi waktu adalah kelemahan utama dalam model pembelajaran kontekstual.